Bone – Kebijakan baru yang diterapkan oleh Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Kabupaten Bone menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak, khususnya pemerhati dan pelatih sepakbola usia dini. Kebijakan yang mewajibkan pembayaran sebesar Rp300.000 untuk penggunaan Stadion Lapatau Watampone sebagai tempat latihan dinilai tidak berpihak pada pembinaan generasi muda, terutama anak-anak berprestasi di bidang olahraga.
Stadion Lapatau, yang selama ini menjadi satu-satunya tempat latihan bagi banyak anak di Kabupaten Bone, kini dianggap terlalu sulit diakses karena beban biaya yang dibebankan. Padahal, stadion tersebut dibangun menggunakan dana publik dan diharapkan dapat digunakan secara bebas untuk mendukung pembinaan olahraga.
Krisis Lapangan Latihan
Kondisi ini diperparah dengan semakin terbatasnya lapangan sepakbola lain di Kabupaten Bone. Banyak lapangan yang sebelumnya menjadi tempat latihan kini beralih fungsi atau tidak lagi dapat digunakan oleh masyarakat. Dengan adanya kebijakan baru ini, Stadion Lapatau yang menjadi harapan terakhir kini justru membebani para pemain muda yang bercita-cita tinggi di dunia sepakbola.
Kritik dari Tokoh Masyarakat dan Pelatih
Tokoh masyarakat dan pelatih sepakbola lokal menganggap kebijakan ini sebagai bentuk komersialisasi fasilitas publik yang mengutamakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di atas pembinaan olahraga.
“Ini adalah pembunuhan perlahan terhadap sepakbola Bone. Anak-anak yang seharusnya dilatih untuk menjadi generasi emas justru diberi beban biaya yang tidak perlu. Bukankah tugas pemerintah adalah mendukung mereka?” ujar seorang pelatih akademi sepakbola di Bone.
Mereka menekankan pentingnya membedakan tarif komersial dengan fasilitas untuk pembinaan usia dini.
“Jika stadion digunakan untuk event resmi atau komersial, tentu wajar jika dikenakan biaya. Tetapi, untuk latihan anak-anak, seharusnya bebas biaya. Ini investasi jangka panjang untuk daerah,” tambahnya.
Desakan untuk Evaluasi Kebijakan
Kritik keras juga datang dari para orang tua dan pemerhati sepakbola yang menyayangkan sikap pemerintah daerah. Mereka mendesak Kadispora Bone untuk segera mengevaluasi kebijakan ini dan memberikan ruang yang lebih besar bagi pembinaan generasi muda.
“Stadion adalah fasilitas publik, bukan sumber pendapatan utama. Pemerintah harus ingat bahwa anak-anak ini adalah aset terbesar Bone, dan mereka membutuhkan dukungan, bukan penghalang,” ujar salah seorang tokoh masyarakat.
Masa depan sepakbola Kabupaten Bone kini bergantung pada keputusan pemerintah daerah dalam menanggapi desakan masyarakat. Evaluasi kebijakan ini diharapkan dapat mengembalikan semangat anak-anak untuk terus berprestasi dan mengharumkan nama Bumi Arung Palakka.
Editor : Alam